Ahad, 28 November 2010

Samudra Pasai

E-mail
Berdasarkan berita Marcopolo (th 1292) dan Ibnu Batutah (abad 13). Pada tahun 1267 telah berdiri kerajaan Islam pertama di Indonesia, yaitu kerajaan Samudra Pasai. Hal ini juga dibuktikan dengan adanya Batu nisan makam Sultan Malik Al Saleh (th 1297) Raja pertama Samudra Pasai.

Kesultanan Samudera Pasai, juga dikenal dengan Samudera, Pasai, atau Samudera Darussalam, adalah kerajaan Islam yang terletak di pesisir pantai utara Sumatera, kurang lebih di sekitar Kota Lhokseumawe, Aceh Utara sekarang. Kerajaan Samudra Pasai berdiri sekitar abad 13 oleh Nazimuddin Al Kamil, seorang laksamana laut Mesir. Pada Tahun 1283 Pasai dapat ditaklukannnya, kemudian mengangkat Marah Silu menjadi Raja Pasai pertama dengan gelar Sultan Malik Al Saleh (1285 - 1297). Makam Nahrasyiah Tri Ibnu Battutah, musafir Islam terkenal asal Maroko, mencatat hal yang sangat berkesan bagi dirinya saat mengunjungi sebuah kerajaan di pesisir pantai timur Sumatera sekitar tahun 1345 Masehi. Setelah berlayar selama 25 hari dari Barhnakar (sekarang masuk wilayah Myanmar), Battutah mendarat di sebuah tempat yang sangat subur. Perdagangan di daerah itu sangat maju, ditandai dengan penggunaan mata uang emas. Ia semakin takjub karena ketika turun ke kota ia mendapati sebuah kota besar yang sangat indah dengan dikelilingi dinding dan menara kayu.

Kota perdagangan di pesisir itu adalah ibu kota Kerajaan Samudera Pasai. Samudera Pasai (atau Pase jika mengikuti sebutan masyarakat setempat) bukan hanya tercatat sebagai kerajaan yang sangat berpengaruh dalam pengembangan Islam di Nusantara. Pada masa pemerintahan Sultan Malikul Dhahir, Samudera Pasai berkembang menjadi pusat perdagangan internasional. Pelabuhannya diramaikan oleh pedagang-pedagang dari Asia, Afrika, Cina, dan Eropa.
Kejayaan Samudera Pasai yang berada di daerah Samudera Geudong, Aceh Utara, diawali dengan penyatuan sejumlah kerajaan kecil di daerah Peurelak, seperti Rimba Jreum dan Seumerlang. Sultan Malikussaleh adalah salah seorang keturunan kerajaan itu yang menaklukkan beberapa kerajaan kecil dan mendirikan Kerajaan Samudera pada tahun 1270 Masehi.Makam Abdullah ibnu Muhammad ibnu Abdul Kadir.
Ia menikah dengan Ganggang Sari, seorang putri dari kerajaan Islam Peureulak. Dari pernikahan itu, lahirlah dua putranya yang bernama Malikul Dhahir dan Malikul Mansyur. Setelah keduanya beranjak dewasa, Malikussaleh menyerahkan takhta kepada anak sulungnya Malikul Dhahir. Ia mendirikan kerajaan baru bernama Pasai. Ketika Malikussaleh mangkat, Malikul Dhahir menggabungkan kedua kerajaan itu menjadi Samudera Pasai.
Dalam kisah perjalanannya ke Pasai, Ibnu Battutah menggambarkan Sultan Malikul Dhahir sebagai raja yang sangat saleh, pemurah, rendah hati, dan mempunyai perhatian kepada fakir miskin. Meskipun ia telah menaklukkan banyak kerajaan, Malikul Dhahir tidak pernah bersikap jemawa. Kerendahan hatinya itu ditunjukkan sang raja saat menyambut rombongan Ibnu Battutah. Para tamunya dipersilakan duduk di atas hamparan kain, sedangkan ia langsung duduk di tanah tanpa beralas apa-apa.
Dengan cermin pribadinya yang begitu rendah hati, raja yang memerintah Samudera Pasai dalam kurun waktu 1297-1326 M ini, pada batu nisannya dipahat sebuah syair dalam bahasa Arab, yang artinya, ini adalah makam yang mulia Malikul Dhahir, cahaya dunia sinar agama.
Tercatat, selama abad 13 sampai awal abad 16, Samudera Pasai dikenal sebagai salah satu kota di wilayah Selat Malaka dengan bandar pelabuhan yang sangat sibuk. Bersamaan dengan Pidie, Pasai menjadi pusat perdagangan internasional dengan lada sebagai salah satu komoditas ekspor utama.
Saat itu Pasai diperkirakan mengekspor lada sekitar 8.000- 10.000 bahara setiap tahunnya, selain komoditas lain seperti sutra, kapur barus, dan emas yang didatangkan dari daerah pedalaman. Bukan hanya perdagangan ekspor impor yang maju. Sebagai bandar dagang yang maju, Samudera Pasai mengeluarkan mata uang sebagai alat pembayaran. Salah satunya yang terbuat dari emas dikenal sebagai uang dirham.
Hubungan dagang dengan pedagang-pedagang Pulau Jawa juga terjalin. Produksi beras dari Jawa ditukar dengan lada. Pedagang-pedagang Jawa mendapat kedudukan yang istimewa di pelabuhan Samudera Pasai. Mereka dibebaskan dari pembayaran cukai.


Perdagangan

Selain sebagai pusat perdagangan, Pasai juga menjadi pusat perkembangan Islam di Nusantara. Kebanyakan mubalig Islam yang datang ke Jawa dan daerah lain berasal dari Pasai.
Eratnya pengaruh Kerajaan Samudera Pasai dengan perkembangan Islam di Jawa juga terlihat dari sejarah dan latar belakang para Wali Songo. Sunan Kalijaga memperistri anak Maulana Ishak, Sultan Pasai. Sunan Gunung Jati alias Fatahillah yang gigih melawan penjajahan Portugis lahir dan besar di Pasai. Laksamana Cheng Ho tercatat juga pernah berkunjung ke Pasai.
Situs Kerajaan Islam Samudera Pasai ini sempat sangat terkenal di tahun 1980-an, sebelum konflik di Aceh semakin memanas dan menyurutkan para peziarah. Menurut Yakub, juru kunci makam Sultan Malikussaleh, nama besar sang sultan turut mengundang rasa keingintahuan para peziarah dari Malaysia, India, sampai Pakistan. "Negara-negara itu dulunya menjalin hubungan dagang dengan Pasai," tutur Yakub.
Sejarah Pasai yang begitu panjang masih bisa ditelusuri lewat sejumlah situs makam para pendiri kerajaan dan
keturunannya di makam raja-raja itu. Makam itu menjadi saksi satu-satunya karena peninggalan lain seperti istana sudah tidak ada. Makam Sultan Malikussaleh dan cucunya, Ratu Nahrisyah, adalah dua kompleks situs yang tergolong masih terawat. makam Malikal Zahir.
Menurut Snouck Hurgronje, hubungan langsung Arab dengan Indonesia baru berlangsung abad 17 pada masa kerajaan Samudra Pasai, Banten, Demak dan Mataram Baru.
Samudra Pasai sebelum menjadi kerajaan Islam merupakan kota pelabuhan yang berada dalam kekuasaan Majapahit, yang pada masa itu sedang mengalami kemunduran. Setelah dikuasai oleh pembesar Islam, para pedagang dari Tuban, Palembang, malaka, India, Cina dan lain-lain datang berdagang di Samudra Pasai. Menurut Ibnu Batutah: Samudera Pasai merupakan pelabuhan terpenting dan Istana Raja telah disusun dan diatur secara indah berdasarkan pola budaya Indonesia dan Islam.
Kehidupan masyarakat Samudera Pasai diwarnai oleh agama dan kebudayaan Islam. Pemerintahnya bersifat Theokrasi (berdasarkan ajaran Islam) rakyatnya sebagiab besar memeluk agama Islam. Raja raja Pasai membina persahabatan dengan Campa, India, Tiongkok, Majapahit dan Malaka. Pada tahun 1297 Malik Al saleh meninggal, dan digantikan oleh putranya Sultan Muhammad (th 1297 – 1326)
lebih dikenal dengan nama Malik Al Tahir, penggantinya Sultan Ahmad (th 1326 – 1348), juga pakai nama Malik Al Tahir, penggantinya Zainal Abidin.
Raja Zainal Abidin pada tahun 1511 terpaksa melarikan diri dan meninggalkan tahtanya berlindung di Majapahit, karena masih saudara raja Majapahit. Hal ini berarti hubungan kekerabatan Raja Samudra Pasai dengan Raja Majapahit terbina sangat baik, menurut berita Cina disebutkan pertengahan abad 15, Samudra Pasai masih mengirimkan utusannya ke Cina sebagai tanda persahabatan.makam Naina Hisana bin Naina.
Fatahilah, ulama terkemuka Pasai menikah dengan adik Sultan Trenggono(raja Demak/adik Patih Unus/anak Raden Patah). Fatahilah berhasil merebut Sunda Kelapa (22 Juni 1522) berganti nama menjadi Jayakarta, juga Cirebon dan Banten.

PERADABAN DAN PERKEMBANGAN ACHEH

1. Asal Usul
        Bangsa Aceh merupakan bangsa yang terletak di sebelah barat Pulo Ruja. Bangsa Aceh pada awalnya merupakan bangsa Achehmenia, bangsa ini terletak di pinggiran bukit Kaukakus di Eropa Tengah. Bangsa ini hidup pada tahun 2500 SM (Sebelum Masehi).
        Bangsa Achehmenia merupakan sebuah bangsa yang senang merantau, tak heran jika bangsa ini tersebar diseluruh Asia, Afrika, Europa dan Pulo Ruja. Salah satu keturunan dari bangsa ini berpindah ke Parsia dan menjadi bangsa Parsia, sedangkan keturunan yang satunya berpindah ke Pulo Raja dan akhirnya menjadi bangsa Acheh.
        Bangsa Acheh pada awalnya berasal dari bangsa Achehmenia yang berpindah ke Pulo Ruja. Lebih jelasnya, bangsa Acheh berasal dari empat buah suku (Kaum).

  1. Sukee Lhee Reutoh Ban Aneuk Drang
  2. Sukee Jasandang Jeura Halba
  3. Sukee Tok Batee Na Bacut-Bacut
  4. Sukee Imum Peuet Nyang Gok-Gok Donya

        Bangsa Achehmenia merupakan keturunan dari anak cucu Nabi Nuh as. Setelah Tuhan menurunkan bancana atas umat Nabi Nuh as, tinggallah tiga anak beliau yang selamat dari bencana tersebut, mereka itu adalah Ham (Hamite), Yafits (Yafite) dan Sam-Syam (Smite).
        Setelah wafatnya Nabi Nuh as, ketiga putranya tersebut tidak lagi percaya akan ajaran yang dibawa oleh Nabi Nuh, mereka telah sesat dan kembali kepada agama menyembah patung dan berhala, hingga akhirnya mereka bercerai-berai. Ham akhirnya berpindah ke Afrika dan menjadi nenek moyang bangsa Negro, Yafits berpindah ke Eropa dan menjadi nenek moyang dari bangsa Jerman dan juga bangsa Eropa, dan Sam-Syam berpindah ke Jazirah Arab dan menjadi nenek moyang bangsa Arab, yang satu suku berpindah ke tanah Persia dan menjadi bangsa Parsia. Pada masa itulah pertama kalinya meluas-Migrasi manusia di dunia.
        Duhulu bangsa Acheh pernah menduduki masa kejayaannya di Pulo Ruja, namun akhirnya bangsa tersebut menghilang entah kemana. Pada saat itu datang bencana dari Allah kepada bangsa Acheh, yakni penjajahan oleh bangsa Holanda, Jepang, dan pertempuran di Tjumbok. Kemudian pada tahun 1950 bangsa Acheh bercerai-berai, karena kesibukan mereka dalam mengurusi politik dunia dan kemudian mereka menghilang entah kemana.
        Disamping itu juga lahir kembali orang-orang Acheh yang telah terjangkit penyakit ta-eot (nama penyakit) dan penyakit hilang ingatan (Amnesia), mereka tidak tahu apapun lagi dan bahkan tidak mengenal diri sendiri. Mereka tidak lagi berfikir, hingga akhirnya menjadi orang yang dengki, berkhianat, jahat dan bangsat tidak dapat dibandingkan dengan apapun. Sampai saat itu bencana dan mala petaka dari Allah SWT terus datang pada bangsa dan orang-orang Acheh.


2. Tiba di Pulo Ruja
        Bangsa Parsia sebelum menjadi bangsa Aceh, terlebih dahulu tiba di Parsia (Iraq, Iran sekarang) . Saat itu, yang memerintah Parsia adalah Raja Dorius. Pada waktu itu, daerah kekuasaannya sangatlah luas. Terhitung mulai dari Mesir, Hindia dan Pulo Ruja. Saat itulah para cendikiawan Parsia berpindah ke negara belahan barat Pulo Ruja yang kemudian disebut dengan Nanggroe Aceh.
       Sebelumnya di tanah Aceh memang sudah dihuni oleh para Aulia (Wali Allah) , dan memang sebenarnya Nanggroe Aceh adalah harta milik para Aulia Allah, sudah menjadi kehendak Allah bahwa tanah Aceh melahirkan para ulama dan orang bijak. Sampai akhirnya rasulullah mengamanahkan untuk memperluas ajaran Islam ke Samudra, yakni ke pulau yang terdapat para Aulia. Setelah mendapatkan amanah dari rasul, para pendahulu bangsa Aceh dari suku Khujja hijrah ke Pulo Ruja untuk memperluas dan menyebarkan ajaran Islam, dan untuk pertama kalinya mereka masuk ke daerah Peurlak. Pada saat itu yang memimpin rombongan adalah Syeh Ismail, beliau adalah salah satu keponakan saidina Utsman bin Affan, yaitu khalifah ketiga setelah Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab.
        Islam di Peurlak pada masa itu belum begitu meluas, hal tersebut dikarenakan penduduknya belum terlalu ramai, penduduk Peurlak saat itu hanya orang-orang Gayo Seumanah (Gayo yang suka memanah), para Aulia Allah dan juga beberapa orang Parsia. Akhirnya orang-orang Parsia yang tadinya pergi menyebarkan ajaran Islam kembali ke Negri Peurlak dan bermukim disana, maka jadilah mereka sebagai penduduk tetap Negri Peurlak. Namun akhirnya karena Islam tidak begitu meluas di Peurlak, dan orang Parsia tadi telah banyak yang wafat, maka yang tersisa hanyalah para pemuda. Takut Islam tidak meluas dan amanah rasulullah tidak terlaksana sebagaimana mestinya, maka para peumuda tersebut berpindah ke daerah lain ke sebelah barat ke Kuala Keureutoe. Di Keureutoe pun mereka berjumpa kembali dengan para Aulia dan orang-orang Parsia yang lain, akhirnya mereka bermukim disana dan menjadi penduduk tetap Keureutoe.

Sabtu, 27 November 2010

Rumah Adat Acheh














Rincong Senjata Acheh



Senjata satu ini sudah dikenal sejak abad ke 13 di Tanah Acheh, pada periode ini dimana masa berkembangnya kerajaan samudera pase, selaku kerajaan Islam pertama dikawasan Asia Tenggara. namun yang membuat saya penasaran siapa orang pertama yang menciptakan rencong, dengan kemampuan dan bentuknya ini senjata yang sempat menjadi julukan untuk tanah acheh dengan sebutan “Tanoh Rincong”. dari berbagai catatan sejarah belum ada penjelasan asal usul pencipta rencong lengkap dengan biodatanya.
Jenis rincong dan pemakainya
Pada umumnya Di Acheh Bentuk rincong melambangkan golongan/tingkatan status si pemakai. Ada 3 bentuk golongan rencong yang dikenal di acheh .

Pertama, rincong meupucok yang dipakai oleh kalangan atas (kaum bangsawan), perbedaan rincong meupucok pada gagangnya dibungkus engan perhiasan emas.
Kedua, rincong meucugeek yang digunakan oleh kalangan menengah di acheh. Rencong meucugeek yakni rencong yang gagangnya dibuat dari gading gajah yang kadang-kadang dihiasi pula dengan perhiasan emas pada sumbunya.


Ketiga, Rincong Pudoi atau lebih dikenal dengan rincong biasa, pada dasarnya rincong peudoi ini gagangnya dibuat dari tanduk yang sudah diulas licin, sehingga mutunya tidak kalah dengan rincong yang sumbunya dibuat dari gading atau bergagang pucok yang dibungkus dengan emas.


Bentuk Umum Rincong

Meskipun bentuk rincong berbeda-beda namun yang membedakan secara bentuk adalah gagangnya. karena perbedaan bentuk itulah kemudian muncul nama-nama rincong itu sendiri, selain rincong meupucok, meucugeek dan peudoi (atau biasa) ada beberapa bentuk rincong lain yang dikenal diacheh, seperti rincong Meukuree dan rincong umum. rincong umum yang dimaksud adalah rincong yang tidak termasuk kedalam empat golongan rincong manapun. sedangkan dari fungsinya rincong terdiri dari beberapa jenis yang kesemuanya berfungsi sebagai senjata tusuk, antara lain : Uléè’ lapan sagoe, S i w a ‘i h, Uléè’bdh glima, Uléè’ paroh blesékan, Uléè’ dandan, Uléè’ mcucangge dan Uléè’janggok.
Secara umum detail gambaran rincong adalah sebagai berikut :

Secara umum detail gambaran rencong adalah sebagai berikut :
Gagang Rincong
1. Batang rencong
2. Fungsi kedudukan puting rincong didalam gagang.
3. Gagang rincong bentuk gagangmeucugek.
4. Bahagian rincong yang disebut cugee.
Puting Rincong
1. Puting rincong.
2. Batang rincong
Batang Rincong
Batang rincong, yaitu bagian besi yang menghubungkan puting dengan
bengkuang rincong.
1. Batang rincong
2. Bengkuang rincong yang berbentuk
kuku elang atau kuku
raja wali.
3. Bagian pangkal rincong sebelah
mata rincong.
Bangkuang rincong;
Bangkuang rincong ini bila diartikan dalam bahasa Indonesia, agaknya
lebih tepat disebut kuku elang atau kuku raja wali rincong. Gunanya
sebagai kuku penyangkut, apabila disarungkan berfungsi sebagai
sangkutan bila diselipkan pada pinggang sipemakainya.
1. Bengkuang rincong
2. Bagian pangkal rincong
3. Bagian batang rincong yang
dikatakan juga reukueng-reukueng.
Perut Rincong;
Perut rincong merupakan bagian mata rincong yang letaknya di
tengah-tengah mata rencong. Bagian ini diasah sehingga tajam, yang
kadang-kadang dipergunakan untuk memotong sesuatu benda yang
agak keras.
1. Perut rencong
2. Arah kebagian pangkal rincong.
3. Arah kebagian ujung rincong
4. Bagian yang diasah sehingga
tajam, untuk memotong sesuatu
benda yang agak keras.
Ujung Rincong;
Ujung rincong adalah bagian mata rincong yang runcing, karena
pa ‘a bagian ujung rencong itulah vang menentukan tembus tidaknya,
sesuatu benda yang ditusuk atau ditancapkan dengan sebilah
rincong. Di samping itu digunakan pula untuk menggores sesuatu
benda yang hanya mempan ditembus oleh ujung rincong.
1. Ujung rincong
2. Arah kebagian perut rincong
3. Ujung yang sangat runcing
untuk menembus sasarannya.

 Karena ada rincong tertentu dianggap sebagai barang bernilai magis religius dalam pandangan masyarakat Acheh, maka rincong sama sekali tidak digunakan sebagai alat pemotong atau pengupas. Dia dipakai apabila amat diperlukan, misalnya jika menghadapi musuh. Pada dasarnya setiap masyarakat Acheh memiliki sebilah rencong sebagai senjata yang mendampingi hidupnya, sejak mereka berumur 18 tahun, walaupun rencong itu tidak dibawa serta atau diselipkan dipinggangnya.

Khamis, 25 November 2010

Tun Sri Lanang: Gajah Madanya dunia melayu .

Tun Sri Lanang
//Sejarah Melayu, agungkan karangan/ Bendahara Muhammad Jadi Sebutan/ Tun Sri Lanang nama timangan/ Pujangga Melayu, tiada tandingan/ Negeri Johor, apalah malang/ Dato’ bendahara, kini menghilang,/ Baginda Sultan, tiada terhalang/ Mengikut rasa, alang kepalang//


Di Malaysia nama Tun Sri Lanang memang terkenal ungkap Tan Sri Zulkifli Abd Razak, maka saya ingin melihat langsung makamnya, pintanya pada Rektor Universitas Syiah Kuala.Pada hari Jumat tanggal 8 Januari 2010, akhirnya penulis diminta oleh Rektor Universitas Syiah Kuala, Prof Darni Daud M.Ed, untuk menemani Naib Chanselor (Rektor) Universiti Sais Malaysia Prof Tan Sri Zulkifli Abd Razak menziarahi maka Tun Sri Lanang di Kuta Blang Samalanga.


Setiba kami di sana telah ditunggu oleh Bapak Asnawi (asisten II Pemkab Bireun) dan Camat Samalanga serta tokoh tokoh masyarakat lainnya. Suasana di makam Tun Sri Lanang sudah sedikit berubah dimana telah dipasang pagar, tetapi istananya “rumoh krueng” masih tidak terurus dengan baik, bahkan hampir roboh. Saya teringat sewaktu tahun 1998 pada saat menemani Dato Sri Wan Abdul Wahid bin Wan Haji Hassan, penasehat Sultan Pahang Darul Makmur DYMM Sultan Ahmad Syah Zilulullah fil Alam, makam dan istana tokoh agung nusantara rusak berat bahkan lembu berkeliaran dan diikat di makamnya.


Nama asli Tun Sri lanang adalah Muhammad anak Tun Ahmad Paduka Raja yang lahir di Seluyut, Batu Sawar Johor Lama pada tahun 1565. Dato Bendahara Negeri Johor . dibawa ke Aceh pada tahun 1613 setelah Johor ditakluki oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636), bersama 22 ribu penduduk semenanjung lainnya dan sebagian besar ditempatkan di Samalanga dan Seulimum Aceh Besar.


Kebijakan “transmigrasi” warga Semenanjung Tanah Melayu dilakukan karena penduduk di pusat kerajaan Aceh Darussalam sudah berkurang akibat perang yang dengan Portugis selama 130 tahun. sebagai mana diungkapkan oleh W. Linehan dalam sepenggal kalimat “The whole territory of Acheh was almost depopulated by war. The king endeavoured to repeople the country by his conquests. he transported the inhabitants from Johore,Pahang, Kedah, Perak and Deli to Acheh the number of twenty-two thousand person”. (W.Linehan: 1936) di Malaysia, Tun Sri Lanang dikenal dengan Dato yang ke Acheh.


Di Aceh , Sultan Iskandar Muda menjadikan Tun Sri Lanang sebagai penasehatnya dengan gelar Orang kaya Datuk Bendahara Sri Paduka Tun Sebrang dan memberikan wilayah kekuasaannya di Samalanga yang dibatasi dengan Krueng Ulim dan krueng Jempa (AK Yakobi: 1997: 40 - 48). Wilayah kekuasaan Tun Sri Lanang sekarang sebagian masuk bagian Pidie Jaya dan sebagian lagi Bireuen.


Penobatan Tun Seri Lanang menjadi raja Samalanga mendapat dukungan rakyat yang ahli dibidang pemerintahan juga alim dalam ilmu agama. Iskandar Muda mengharapkan penunjukan ini membantu pengembangan Islam di pesisir timur Aceh. Pada masa itu, Samalanga berhasil dijadikan pusat pengembangan Islam di kawasan timur Aceh, dan menjadi daerah basis perjuangan dalam perang Aceh dengan Belanda (1873-1942). Bahkan Belanda menjuluk Samalanga sebagai “dusun orang keramat”. Tradisi keilmuan ini terus berlanjut sampai dengan saat ini.


Iskandar Muda sangat senang terhadap Tun Sri Lanang karena pandangan politiknya yang berbeda dengan pembesar Melayu lainnya. Dalam kacamata Tun Sri Lanang memerangi Portugis adalah jihad Islami dan wajib bagi setiap individu muslim memeranginya yang telah menduduki pemerintahan negeri negeri Melayu dan setuju dengan pendapat Sultan Aceh untuk menyerang negeri Melayu yang bersubhat dengan Portugis.


Sedangkan temannya Tun Sri Lanang, Sultan Alaudin Riayatsyah III, Sultan Johor, lebih memilih bekerjasama dengan Portugis, walaupun Kesultanan Aceh telah mengingatkan agar kerajaan kerajaan melayu di nusantara ini bersatu melawan musuh agama mareka. Iskandar Muda berucap “Tabeudoih, tjoetjo oeleebalang, tabri goerangsang keu ra’jat doemna Be’ tatakot, be’ tamalee, na koe goeree, kalon koetika”(Cowan:1937).


Akibatnya keturunan Tun Sri Lanang dan keluarganya dikucilkan di Johor sampai 60 tahun lamanya. Baru pada tahun 1688 posisi bendahara dikembalikan kepada Tun Abdul Majid (1688-1697), cucu Tun Sri Lanang melalui anaknya Tun Mat Ali hasil perkawinan dengan anak Zainal Abidin al Al Aidarus Mangkubumi kerajaan Aceh pada masa sultanah Safiatuddin Syah (1641-1675). Keturunannya saat ini menjadi Sultan Trenggano, Pahang, Johor dan Negeri Selangor Darul Ihsan hingga sekarang ini.


Karya Tun Sri Lanang yang sangat monumental adalah kitab Sulalatus Salatin yang telah dicetak ulang beberapa kali dan menjadi buku wajib di pelajari baik pada tingkat SD, SMP dan SMA di Malaysia. Maka tidak heran seperti pernyataan Rektor Universiti Sains Malaysia bahwa nama Tun Sri Lanang sangat terkenal tapi seperti cerita abstrak atau dongeng (Serambi Indonesia, 9 Januari 2010) . Saya melihat cerita Tun Sri Lanang ini sama seperti cerita Gajah Mada di Indonesia tapi entah karena kebetulan kedua duanya wafat di Aceh yang satu di Samalanga sedangkan Gajah Mada di Manyak Pahit Aceh Timur.


Dalam catatan sejarah Tun Sri Lanang berguru dan berteman pada ulama ulama terkenal di Aceh, seperti Nurdin Arraniri, Tun Acheh, Tun Burhat, Hamzah Fansuri, Syeikh Syamsuddin Assumatrani. Bahkan Syech Nurdin Arraniri dalam kitabnya Bustanus Salatin mengakui bahwa beliau belajar bahasa Melayu pada Tun Sri lanang.


Keturunan Tun Sri Lanang di Aceh Tun Rembau yang lebih dikenal dengan panggilan T. Tjik Di Blang PanglimaPerkasa menurunkan keluarga Ampon Chik Samalanga . Tun Sri Lanang memerintah Samalanga dari tahun 1615-1659 dan dimakamkan disamping istananya “rumoh Krueng” kawasan Mukim Kuta Blang kecamatan Samalanga, dengan meninggalkan hasil karyanya Sulatussalatin yang menjadi rujukan sejarah bagi dunia melayu dan berhasil menjadikan Samalanga sebagai pusat pendidikan Islam sampai hari ini.


Di Malaysia Tun Sri lanang dinobatkan sebagai tokoh agung nusantara yang dikenang sepanjang masa, maka tidak heran banyak tokoh tokoh Malaysia yang berkunjung ke Aceh tidak sah kunjungannya sebelum ziarah ke Makam Tun Sri Lanang, sewajanya pemerintah Aceh khususnya pemerintah kabupaten Bireun dapat merehab kembali istana, pasantren dan menata makamnya sebagai kawasan warisan sejarah Aceh dan dunia Melayu, dan bisa menggagas kerjasama dengan Kota Tinggi Johor tempat lahirnya Tun Sri Lanang dengan Kabupaten Bireuen tempat Tun Sri Lanang menghabiskan masa hidupnya sebagai kota kembar. Begitu juga diharapakan Universitas Syiah Kuala dan Universiti Sains Malaysia dapat menggagas project bersama diaspora Melayu sehingga terbangun kerjasama jangka panjang antara kedua Universitas tersebut

SEJARAH KERAJAAN PERLAK (acheh timur)

Kesultanan Perlak merupakan kerajaan Islam pertama di Indonesia yang berdiri pada tanggal 1 Muharam 225 H atau 804 M. Kesultanan ini terletak di wilayah Perlak, Aceh Timur, Nangroe Aceh Darussalam, Indonesia.
a. Sejarah Masuknya Islam
Kesultanan Perlak berdiri pada tahun 840 dan berakhir pada tahun 1292. Proses berdirinya tidak terlepas dari pengaruh Islam di wilayah Sumatera. Sebelum Kesultanan Perlak berdiri, di wilayah Perlak sebenarnya sudah berdiri Negeri Perlak yang raja dan rakyatnya merupakan keturunan dari Maharaja Pho He La (Meurah Perlak Syahir Nuwi) serta keturunan dari pasukan-pasukan pengikutnya.
Pada tahun 840 ini, rombongan berjumlah 100 orang dari Timur Tengah menuju pantai Sumatera yang dipimpin oleh Nakhoda Khilafah. Rombongan ini bertujuan untuk berdagang sekaligus membawa sejumlah da'i yang bertugas untuk membawa dan menyebarkan Islam ke Perlak. Dalam waktu kurang dari setengah abad, raja dan rakyat Perlak meninggalkan agama lama mereka (Hindu dan Buddha), yang kemudian secara sukarela berbondong-bondong memeluk Islam.
Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa salah seorang anak buah dari Nakhoda Khalifah, Ali bin Muhammad bin Ja'far Shadiq dikawinkan dengan Makhdum Tansyuri, yang merupakan adik dari Syahir Nuwi, Raja Negeri Perlak yang berketurunan Parsi. Dari buah perkawinan mereka lahirlah Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Aziz Shah, yang menjadi sultan pertama di Kesultanan Perlak sejak tahun 840. Ibu kotanya Perlak yang semula bernama Bandar Perlak kemudian diubah menjadi Bandar Khalifah sebagai bentuk perhargaan terhadap jasa Nakhoda Khalifah.
b. Masa Permusuhan Sunni-Syiah
Sejarah keislaman di Kesultanan Perlak tidak luput dari persaingan antara kelompok Sunni dan Syiah. Perebutan kekuasaan antara dua kelompok Muslim ini menyebabkan terjadinya perang saudara dan pertumpahan darah. Silih berganti kelompok yang menang mengambil alih kekuasaan dari tangan pesaingnya.
Aliran Syi'ah datang ke Indonesia melalui para pedagang dari Gujarat, Arab, dan Persia. Mereka masuk pertama kali melalui Kesultanan Perlak dengan dukungan penuh dari dinasti Fatimiah di Mesir. Ketika dinasti ini runtuh pada tahun 1268, hubungan antara kelompok Syi'ah di pantai Sumatera dengan kelompok Syi'ah di Mesir mulai terputus. Kondisi ini menyebabkan konstelasi politik Mesir berubah haluan. Dinasti Mamaluk memerintahkan pasukan yang dipimpin oleh Syaikh Ismail untuk pergi ke pantai timur Sumatra dengan tujuan utamanya adalah melenyapkan pengikut Syi'ah di Kesultanan Perlak dan Kerajaan Samudera Pasai.
Sebagai informasi tambahan bahwa raja pertama Kerajaan Samudera Pasai, Marah Silu dengan gelar Malikul Saleh berpindah agama, yang awalnya beragama Hindu kemudian memeluk Islam aliran Syiah. Oleh karena dapat dibujuk oleh Syaikh Ismail, Marah Silu kemudian menganut paham Syafii. Dua pengikut Marah Silu, Seri Kaya dan Bawa Kaya juga menganut paham Syafii, sehingga nama mereka berubah menjadi Sidi Ali Chiatuddin dan Sidi Ali Hasanuddin. Ketika berkuasa Marah Silu dikenal sebagai raja yang sangat anti terhadap pemikiran dan pengikut Syi'ah.
Aliran Sunni mulai masuk ke Kesultanan Perlak, yaitu pada masa pemerintahan sultan ke-3, Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah. Setelah ia meninggal pada tahun 363 H (913 M), terjadi perang saudara antara kaum Syiah dan Sunni, yang menyebabkan kesultanan dalam kondisi tanpa pemimpin. Pada tahun 302 H (915 M), kelompok Syiah memenangkan perang. Sultan Alaiddin Syed Maulana Ali Mughat Shah dari aliran Syiah kemudian memegang kekuasaan kesultanan sebagai sultan ke-4 (915-918). Ketika pemerintahannya berakhir, terjadi pergolakan antara kaum Syiah dan Sunni, hanya saja untuk kali ini justru dimenangkan oleh kelompok Sunni.
Kurun waktu antara tahun 918 hingga tahun 956 relatif tidak terjadi gejolak yang berarti. Hanya saja, pada tahun 362 H (956 M), setelah sultan ke-7, Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Shah Johan Berdaulat meninggal, terjadi lagi pergolakan antara kelompok Syiah dan Sunni selama kurang lebih empat tahun. Bedanya, pergolakan kali ini diakhiri dengan adanya itikad perdamaian dari keduanya. Kesultanan kemudian dibagi menjadi dua bagian. Pertama, Perlak Pesisir (Syiah) dipimpin oleh Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah (986 – 988). Kedua, Perlak Pedalaman (Sunni) dipimpin oleh Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat (986 – 1023).
Kedua kepemimpinan tersebut bersatu kembali ketika salah satu dari pemimpin kedua wilayah tersebut, yaitu Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah meninggal. Ia meninggal ketika Perlak berhasil dikalahkan oleh Kerajaan Sriwijaya. Kondisi perang inilah yang membangkitkan semangat bersatunya kembali kepemimpinan dalam Kesultanan Perlak. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat, yang awalnya hanya menguasai Perlak Pedalaman kemudian ditetapkan sebagai Sultan ke-8 pada Kesultanan Perlak. Ia melanjutkan perjuangan melawan Sriwijaya hingga tahun 1006. Sultan ke-8 sebenarnya berpaham aliran Sunni, namun sayangnya belum ditemukan data yang menyebutkan apakah terjadi lagi pergolakan antar kedua aliran tersebut.
Silsilah

Sebelum berdirinya Kesultanan Perlak, di wilayah Negeri Perlak sudah ada rajanya, yaitu Meurah Perlak Syahir Nuwi. Namun, data tentang raja-raja Negeri Perlak secara lengkap belum ditemukan. Sedangkan daftar nama sultan yang pernah berkuasa di Kesultanan Pelak adalah sebagai berikut:
1. Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Azis Shah (840-864)
2. Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Rahim Shah (864-888)
3. Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah (888-913)
4. Sultan Alaiddin Syed Maulana Ali Mughat Shah (915-918)
5. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Kadir Shah Johan Berdaulat (928-932)
6. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah Johan Berdaulat (932-956)
7. Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Shah Johan Berdaulat (956-983)
8. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat (986-1023)
9. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Shah Johan Berdaulat (1023-1059)
10. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mansur Shah Johan Berdaulat (1059-1078)
11. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdullah Shah Johan Berdaulat (1078-1109)
12. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ahmad Shah Johan Berdaulat (1109-1135)
13. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Shah Johan Berdaulat (1135-1160)
14. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Usman Shah Johan Berdaulat (1160-1173)
15. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Shah Johan Berdaulat (1173-1200)
16. Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Jalil Shah Johan Berdaulat (1200-1230)
17. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah II Johan Berdaulat (1230-1267
18. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Johan Berdaulat (1267-1292)
Catatan: Sultan-sultan di atas dibagi menurut dua dinasti, yaitu dinasti Syed Maulana Abdul Azis Shah dan dinasti Johan Berdaulat, yang merupakan keturunan dari Meurah Perlak asli (Syahir Nuwi).
Periode Pemerintahan

Sultan Perlak ke-17, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah II Johan Berdaulat, melakukan politik persahabatan dengan negeri-negeri tetangga. Ia menikahkan dua orang puterinya, yaitu: Putri Ratna Kamala dinikahkan dengan Raja Kerajaan Malaka, Sultan Muhammad Shah (Parameswara) dan Putri Ganggang dinikahkan dengan Raja Kerajaan Samudera Pasai, al-Malik al-Saleh.
Kesultanan Perlak berakhir setelah Sultan yang ke-18, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Johan Berdaulat meninggal pada tahun 1292. Kesultanan Perlak kemudian menyatu dengan Kerajaan Samudera Pasai di bawah kekuasaan sultan Samudera Pasai yang memerintah pada saat itu, Sultan Muhammad Malik Al Zahir yang juga merupakan putera dari al-Malik al-Saleh.
Wilayah Kekuasaan

Sebelum bersatu dengan Kerajaan Samudera Pasai, wilayah kekuasaan Kesultanan Perlak hanya mencakup kawasan sekitar Perlak saja. Saat ini, kesultanan ini terletak di pesisir timur daerah aceh yang tepatnya berada di wilayah Perlak, Aceh Timur, Nangroe Aceh Darussalam, Indonesia.
Struktur Pemerintahan

Kehidupan Sosial-Budaya
Perlak dikenal dengan kekayaan hasil alamnya yang didukung dengan letaknya yang sangat strategis. Apalagi, Perlak sangat dikenal sebagai penghasil kayu perlak, yaitu jenis kayu yang sangat bagus untuk membuat kapal. Kondisi semacam inilah yang membuat para pedagang dari Gujarat, Arab, dan Persia tertarik untuk datang ke daerah ini. Masuknya para pedagang tersebut juga sekaligus menyebarkan ajaran Islam di kawasan ini. Kedatangan mereka berpengaruh terhadap kehidupan sosio-budaya masyarakat Perlak pada saat itu. Sebab, ketika itu masyarakat Perlak mulai diperkenalkan tentang bagaimana caranya berdagang. Pada awal abad ke-8, Perlak dikenal sebagai pelabuhan niaga yang sangat maju.
Model pernikahan percampuran mulai terjadi di daerah ini sebagai konsekuensi dari membaurnya antara masyarakat pribumi dengan masyarakat pendatang. Kelompok pendatang bermaksud menyebarluaskan misi Islamisasi dengan cara menikahi wanita-wanita setempat. Sebenarnya tidak hanya itu saja, pernikahan campuran juga dimaksudkan untuk mengembangkan sayap perdagangan dari pihak pendatang di daerah ini.sejarah

SEJARAH KERAJAAN PASAI

Kerajaan Samudera Pasai terletak di Aceh, dan merupakan kerajaan Islam pertama di Indonesia. Kerajaan ini didirikan oleh Meurah Silu pada tahun 1267 M. Bukti-bukti arkeologis keberadaan kerajaan ini adalah ditemukannya makam raja-raja Pasai di kampung Geudong, Aceh Utara. Makam ini terletak di dekat reruntuhan bangunan pusat kerajaan Samudera di desa Beuringin, kecamatan Samudera, sekitar 17 km sebelah timur Lhokseumawe. Di antara makam raja-raja tersebut, terdapat nama Sultan Malik al-Saleh, Raja Pasai pertama. Malik al-Saleh adalah nama baru Meurah Silu setelah ia masuk Islam, dan merupakan sultan Islam pertama di Indonesia. Berkuasa lebih kurang 29 tahun (1297-1326 M). Kerajaan Samudera Pasai merupakan gabungan dari Kerajaan Pase dan Peurlak, dengan raja pertama Malik al-Saleh.
Seorang pengembara Muslim dari Maghribi, Ibnu Bathutah sempat mengunjungi Pasai tahun 1346 M. ia juga menceritakan bahwa, ketika ia di Cina, ia melihat adanya kapal Sultan Pasai di negeri Cina. Memang, sumber-sumber Cina ada menyebutkan bahwa utusan Pasai secara rutin datang ke Cina untuk menyerahkan upeti. Informasi lain juga menyebutkan bahwa, Sultan Pasai mengirimkan utusan ke Quilon, India Barat pada tahun 1282 M. Ini membuktikan bahwa Pasai memiliki relasi yang cukup luas dengan kerajaan luar
Pada masa jayanya, Samudera Pasai merupakan pusat perniagaan penting di kawasan itu, dikunjungi oleh para saudagar dari berbagai negeri, seperti Cina, India, Siam, Arab dan Persia. Komoditas utama adalah lada. Sebagai bandar perdagangan yang besar, Samudera Pasai mengeluarkan mata uang emas yang disebut dirham. Uang ini digunakan secara resmi di kerajaan tersebut. Di samping sebagai pusat perdagangan, Samudera Pasai juga merupakan pusat perkembangan agama Islam.
Seiring perkembangan zaman, Samudera mengalami kemunduran, hingga ditaklukkan oleh Majapahit sekitar tahun 1360 M. Pada tahun 1524 M ditaklukkan oleh kerajaan Aceh.
Silsilah

1. Sultan Malik al-Saleh (1267-1297 M)
2. Sultan Muhammad Malikul Zahir (1297-1326 M)
3. Sultan Ahmad Laidkudzahi
4. Sultan Zainal Abidin Malik al-Zahir (1383-1405 M)
5. Sultan Shalahuddin (1405-1412 M)
Periode Pemerintahan

Rentang masa kekuasan Samudera Pasai berlangsung sekitar 3 abad, dari abad ke-13 hingga 16 M.
Wilayah Kekuasaan

Wilayah kekuasaan Pasai mencakup wilayah Aceh ketika itu.
Kehidupan Sosial-Budaya


Telah disebutkan di muka bahwa, Pasai merupakan kerajaan besar, pusat perdagangan dan perkembangan agama Islam. Sebagai kerajaan besar, di kerajaan ini juga berkembang suatu kehidupan yang menghasilkan karya tulis yang baik. Sekelompok minoritas kreatif berhasil memanfaatkan huruf Arab yang dibawa oleh agama Islam, untuk menulis karya mereka dalam bahasa Melayu. Inilah yang kemudian disebut sebagai bahasa Jawi, dan hurufnya disebut Arab Jawi. Di antara karya tulis tersebut adalah Hikayat Raja Pasai (HRP). Bagian awal teks ini diperkirakan ditulis sekitar tahun 1360 M. HRP menandai dimulainya perkembangan sastra Melayu klasik di bumi nusantara. Bahasa Melayu tersebut kemudian juga digunakan oleh Syaikh Abdurrauf al-Singkili untuk menuliskan buku-bukunya.
Sejalan dengan itu, juga berkembang ilmu tasawuf. Di antara buku tasawuf yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu adalah Durru al-Manzum, karya Maulana Abu Ishak. Kitab ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh Makhdum Patakan, atas permintaan dari Sultan Malaka. Informasi di atas menceritakan sekelumit peran yang telah dimainkan oleh Samudera Pasai dalam posisinya sebagai pusat tamadun Islam di Asia Tenggara pada masa itu.