Khamis, 25 November 2010

Tun Sri Lanang: Gajah Madanya dunia melayu .

Tun Sri Lanang
//Sejarah Melayu, agungkan karangan/ Bendahara Muhammad Jadi Sebutan/ Tun Sri Lanang nama timangan/ Pujangga Melayu, tiada tandingan/ Negeri Johor, apalah malang/ Dato’ bendahara, kini menghilang,/ Baginda Sultan, tiada terhalang/ Mengikut rasa, alang kepalang//


Di Malaysia nama Tun Sri Lanang memang terkenal ungkap Tan Sri Zulkifli Abd Razak, maka saya ingin melihat langsung makamnya, pintanya pada Rektor Universitas Syiah Kuala.Pada hari Jumat tanggal 8 Januari 2010, akhirnya penulis diminta oleh Rektor Universitas Syiah Kuala, Prof Darni Daud M.Ed, untuk menemani Naib Chanselor (Rektor) Universiti Sais Malaysia Prof Tan Sri Zulkifli Abd Razak menziarahi maka Tun Sri Lanang di Kuta Blang Samalanga.


Setiba kami di sana telah ditunggu oleh Bapak Asnawi (asisten II Pemkab Bireun) dan Camat Samalanga serta tokoh tokoh masyarakat lainnya. Suasana di makam Tun Sri Lanang sudah sedikit berubah dimana telah dipasang pagar, tetapi istananya “rumoh krueng” masih tidak terurus dengan baik, bahkan hampir roboh. Saya teringat sewaktu tahun 1998 pada saat menemani Dato Sri Wan Abdul Wahid bin Wan Haji Hassan, penasehat Sultan Pahang Darul Makmur DYMM Sultan Ahmad Syah Zilulullah fil Alam, makam dan istana tokoh agung nusantara rusak berat bahkan lembu berkeliaran dan diikat di makamnya.


Nama asli Tun Sri lanang adalah Muhammad anak Tun Ahmad Paduka Raja yang lahir di Seluyut, Batu Sawar Johor Lama pada tahun 1565. Dato Bendahara Negeri Johor . dibawa ke Aceh pada tahun 1613 setelah Johor ditakluki oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636), bersama 22 ribu penduduk semenanjung lainnya dan sebagian besar ditempatkan di Samalanga dan Seulimum Aceh Besar.


Kebijakan “transmigrasi” warga Semenanjung Tanah Melayu dilakukan karena penduduk di pusat kerajaan Aceh Darussalam sudah berkurang akibat perang yang dengan Portugis selama 130 tahun. sebagai mana diungkapkan oleh W. Linehan dalam sepenggal kalimat “The whole territory of Acheh was almost depopulated by war. The king endeavoured to repeople the country by his conquests. he transported the inhabitants from Johore,Pahang, Kedah, Perak and Deli to Acheh the number of twenty-two thousand person”. (W.Linehan: 1936) di Malaysia, Tun Sri Lanang dikenal dengan Dato yang ke Acheh.


Di Aceh , Sultan Iskandar Muda menjadikan Tun Sri Lanang sebagai penasehatnya dengan gelar Orang kaya Datuk Bendahara Sri Paduka Tun Sebrang dan memberikan wilayah kekuasaannya di Samalanga yang dibatasi dengan Krueng Ulim dan krueng Jempa (AK Yakobi: 1997: 40 - 48). Wilayah kekuasaan Tun Sri Lanang sekarang sebagian masuk bagian Pidie Jaya dan sebagian lagi Bireuen.


Penobatan Tun Seri Lanang menjadi raja Samalanga mendapat dukungan rakyat yang ahli dibidang pemerintahan juga alim dalam ilmu agama. Iskandar Muda mengharapkan penunjukan ini membantu pengembangan Islam di pesisir timur Aceh. Pada masa itu, Samalanga berhasil dijadikan pusat pengembangan Islam di kawasan timur Aceh, dan menjadi daerah basis perjuangan dalam perang Aceh dengan Belanda (1873-1942). Bahkan Belanda menjuluk Samalanga sebagai “dusun orang keramat”. Tradisi keilmuan ini terus berlanjut sampai dengan saat ini.


Iskandar Muda sangat senang terhadap Tun Sri Lanang karena pandangan politiknya yang berbeda dengan pembesar Melayu lainnya. Dalam kacamata Tun Sri Lanang memerangi Portugis adalah jihad Islami dan wajib bagi setiap individu muslim memeranginya yang telah menduduki pemerintahan negeri negeri Melayu dan setuju dengan pendapat Sultan Aceh untuk menyerang negeri Melayu yang bersubhat dengan Portugis.


Sedangkan temannya Tun Sri Lanang, Sultan Alaudin Riayatsyah III, Sultan Johor, lebih memilih bekerjasama dengan Portugis, walaupun Kesultanan Aceh telah mengingatkan agar kerajaan kerajaan melayu di nusantara ini bersatu melawan musuh agama mareka. Iskandar Muda berucap “Tabeudoih, tjoetjo oeleebalang, tabri goerangsang keu ra’jat doemna Be’ tatakot, be’ tamalee, na koe goeree, kalon koetika”(Cowan:1937).


Akibatnya keturunan Tun Sri Lanang dan keluarganya dikucilkan di Johor sampai 60 tahun lamanya. Baru pada tahun 1688 posisi bendahara dikembalikan kepada Tun Abdul Majid (1688-1697), cucu Tun Sri Lanang melalui anaknya Tun Mat Ali hasil perkawinan dengan anak Zainal Abidin al Al Aidarus Mangkubumi kerajaan Aceh pada masa sultanah Safiatuddin Syah (1641-1675). Keturunannya saat ini menjadi Sultan Trenggano, Pahang, Johor dan Negeri Selangor Darul Ihsan hingga sekarang ini.


Karya Tun Sri Lanang yang sangat monumental adalah kitab Sulalatus Salatin yang telah dicetak ulang beberapa kali dan menjadi buku wajib di pelajari baik pada tingkat SD, SMP dan SMA di Malaysia. Maka tidak heran seperti pernyataan Rektor Universiti Sains Malaysia bahwa nama Tun Sri Lanang sangat terkenal tapi seperti cerita abstrak atau dongeng (Serambi Indonesia, 9 Januari 2010) . Saya melihat cerita Tun Sri Lanang ini sama seperti cerita Gajah Mada di Indonesia tapi entah karena kebetulan kedua duanya wafat di Aceh yang satu di Samalanga sedangkan Gajah Mada di Manyak Pahit Aceh Timur.


Dalam catatan sejarah Tun Sri Lanang berguru dan berteman pada ulama ulama terkenal di Aceh, seperti Nurdin Arraniri, Tun Acheh, Tun Burhat, Hamzah Fansuri, Syeikh Syamsuddin Assumatrani. Bahkan Syech Nurdin Arraniri dalam kitabnya Bustanus Salatin mengakui bahwa beliau belajar bahasa Melayu pada Tun Sri lanang.


Keturunan Tun Sri Lanang di Aceh Tun Rembau yang lebih dikenal dengan panggilan T. Tjik Di Blang PanglimaPerkasa menurunkan keluarga Ampon Chik Samalanga . Tun Sri Lanang memerintah Samalanga dari tahun 1615-1659 dan dimakamkan disamping istananya “rumoh Krueng” kawasan Mukim Kuta Blang kecamatan Samalanga, dengan meninggalkan hasil karyanya Sulatussalatin yang menjadi rujukan sejarah bagi dunia melayu dan berhasil menjadikan Samalanga sebagai pusat pendidikan Islam sampai hari ini.


Di Malaysia Tun Sri lanang dinobatkan sebagai tokoh agung nusantara yang dikenang sepanjang masa, maka tidak heran banyak tokoh tokoh Malaysia yang berkunjung ke Aceh tidak sah kunjungannya sebelum ziarah ke Makam Tun Sri Lanang, sewajanya pemerintah Aceh khususnya pemerintah kabupaten Bireun dapat merehab kembali istana, pasantren dan menata makamnya sebagai kawasan warisan sejarah Aceh dan dunia Melayu, dan bisa menggagas kerjasama dengan Kota Tinggi Johor tempat lahirnya Tun Sri Lanang dengan Kabupaten Bireuen tempat Tun Sri Lanang menghabiskan masa hidupnya sebagai kota kembar. Begitu juga diharapakan Universitas Syiah Kuala dan Universiti Sains Malaysia dapat menggagas project bersama diaspora Melayu sehingga terbangun kerjasama jangka panjang antara kedua Universitas tersebut

Tiada ulasan:

Catat Ulasan